Ustaz, saya mohon penjelasan dari Ustaz tentang masalah yang sedang
saya hadapi, tentunya penjelasan menurut syariat Islam yang disertai
dalil-dalil al-Qur`an dan Hadits. Hal itu dimaksudkan agar saya bisa
menyampaikannya kepada suami saya. Syukran katsiran atas bantuannya.
Ibu mertua saya tinggal bersama keluarga kecil saya. Sebetulnya hal itu
tidak jadi masalah bagi saya, malah saya merasa senang karena
–kebetulan- kedua orangtua saya sudah tiada. Ibu mertua saya masih
punya suami (bapak mertua saya). Kata ibu mertua, bapak mertua tidak
usah ikut tinggal bersama kami, biarlah tinggal di kampung saja. Maaf,
ibu mertua saya sikapnya memang selalu meremehkan suaminya (bapak
mertua saya). Sedangkan suami saya, otaknya seperti sudah dicuci oleh
ibunya. Dia selalu menuruti kemahuan ibunya. Di matanya, perkataan
ibunya selalu benar.
Sebetulnya
saya juga agak risih jika tinggal bersama ibu mertua saya, karena dia
pernah menghancurkan mahligai pernikahan kami hingga dua kali. Dia
pernah memerintahkan suami saya untuk selingkuh dan melakukan tindak
kekerasan kepada saya. Ini adalah kali kedua kami rujuk (bersatu
kembali). Semua kami lakukan semata-mata demi anak kami. Setahu saya,
jika jarang bertemu dengan ibunya, suami saya termasuk orang yang baik.
Apalagi dia sering berteman dengan orang-orang yang soleh. Tapi jika
sudah bertemu dengan ibunya, semua menjadi gelap. Yang paling benar di
matanya hanyalah perkataan ibunya. Saya takut bila ibu mertua saya ikut
tinggal bersama kami, rumah tangga kami berantakan lagi. Bagaimana
saya menyampaikan hal ini kepada suami saya,Ustaz?
Perlu diketahui,
saat ibu mertua tinggal di kampung, kami selalu mengirim sejumlah wang
untuknya. Menurut suami saya, ibunya menyuruh suami saya untuk
melakukan balas budi karena sudah disekolahkan oleh sang ibu. Bahkan
katanya, separuh wang gaji ibunya digunakan untuk biaya sekolah suami
saya. Padahal kedua adiknya saja tahu bahwa sikap ibunya memang kurang
baik. Karenanya, mereka tidak mau tinggal bersama ibu mertua saya,
meskipun mereka berada dalam satu kota. Bagaimana menurut Ustaz?
Selain
itu, suami saya kurang mengenal karakter ibunya, karena setelah lulus
SMP, dia tidak serumah lagi dengan ibunya. Dia tinggal di maktab karena
sekolahnya agak jauh. Mohon sekali jawabannya Ustaz.
D - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, sebenarnya masalah yang Anda hadapi hampir
mirip dengan masalah yang sudah saya bahas pada konsultasi minggu lalu,
yaitu mengenai “Batasan Berbakti Kepada Orangtua”. Sebab, kedua masalah
tersebut sama-sama berkaitan dengan upaya seorang anak untuk berbakti
kepada ibunya dan juga sikap sang ibu yang dinilai pihak ketiga (dalam
hal ini adalah isteri sang anak) sebagai sikap yang kurang menyenangkan.
Karena itu, saya sarankan Anda untuk membaca kembali pembahasan
tersebut agar Anda lebih mengetahui tentang batasan-batasan dalam
berbakti kepada orangtua sehingga Anda dapat menjelaskannya kepada
suami Anda.
Yang
ingin saya tekankan di sini adalah tentang kondisi rumah tangga Anda
yang sudah dua kali berantarakan akibat campur tangan pihak ketiga (ibu
mertua). Di atas, Anda mengatakan bahwa ibu mertua Anda pernah
menghancurkan pernikahan Anda berdua hingga dua kali, tetapi kemudian
Anda berdua rujuk (bersatu kembali). Ini bererti bahwa hanya tinggal
satu kesempatan lagi bagi Anda dan suami untuk menggayuh bahtera rumah
tangga, karena Anda dan suami telah melakukan talak sebanyak dua kali.
Menurut hukum Islam, talak yang di dalamnya boleh dilakukan rujuk hanya
dua kali. Bila sampai terjadi talak lagi, maka sepasang suami-isteri
yang bercerai tidak boleh bersatu kembali kecuali setelah si isteri
dinikahi oleh laki-laki lain dengan pernikahan yang sah, bukan main-main
atau rekayasa. Hal ini seperti dijelaskan dalam firman Allah swt.:
“Kemudian
jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah [2]: 230)
Oleh
karena itu, manfaatkanlah kesempatan terakhir ini sebaik-baiknya. Bila
Anda benar-benar ingin tetap bersatu dengan suami Anda, terutama
karena pertimbangan anak-anak, jelaskanlah masalah ini dan juga masalah
“Batasan Berbakti Kepada Orangtua” kepada suami Anda. Carilah waktu
yang tepat untuk membicarakannya dengan suami, lalu diskusikanlah
dengan menggunakan hati dan akal yang jernih. Ingat, jangan sampai ada
emosi! Carilah solusi yang terbaik.
- Ibu mertua masih tetap tinggal bersama keluarga kecil Anda. Tetapi ingat, Anda dan suami harus memiliki komitmen yang tinggi untuk mempertahankan bahtera rumah tangga. Anda harus berusaha keras untuk bersabar, terutama bila ada sikap ibu mertua yang kurang menyenangkan. Sebab walau bagaimanapun, ibu suami Anda adalah ibu Anda juga, yang harus selalu dihormati dan dijaga perasaannya. Demikian pula dengan suami Anda, dia harus berani mengatakan “tidak” (menolak) kepada ibunya bila sang ibu menyuruhnya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah, seperti menyuruhnya untuk selingkuh, seperti yang Anda sebutkan di atas. Sebab, kepatuhan kepada orangtua hanya boleh dilakukan bila tidak mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentunya, penolakan tersebut harus disampaikan dengan cara yang baik agar tidak menyakiti hati sang ibu.'
- Suruhlah suami untuk merayu ibunya agar mau tinggal di kampung bersama suaminya (bapak mertua Anda). Bila Anda memilih alternatif ini, carilah waktu yang tepat dan cara yang baik untuk menyampaikannya kepada ibu mertua Anda. Jangan lupa, Anda berdua harus berkomitmen untuk membantu sang ibu. Buatlah agar dia merasa lebih nyaman tinggal di kampung bersama suaminya. Dalam hal ini, Anda berdua bisa meminta bantuan kepada adik-adik suami Anda.
Sebagai
penutup, saya ingin kembali menekankan bahwa seperti apapun sikap
orangtua kita atau orangtua suami/isteri kita, mereka tetaplah orangtua
kita yang harus kita hormati dan kita jaga perasaannya. Sebagai anak,
kita harus bersabar bila ada sikapnya yang mungkin kurang menyenangkan.
Andaikata ada penolakan yang ingin disampaikan, carilah waktu yang
tepat dan kemaslah penolakan itu dengan cara yang baik. Satu lagi,
ingatlah bahwa setiap orang punya masalah; dan ketika masalah itu
datang, kita harus menghadapinya dengan hati dan akal yang jernih.
Untuk mendapatkan solusi yang terbaik, janganlah lupa untuk memohon
petunjuk dan pertolongan Allah. Wallaahu A’lam….
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Oya Pak, ada satu pertanyaan lagi, apa benar
dalam al-Qur`an ada ayat yang menegaskan bahwa semua harta anak
laki-laki adalah hak ibunya? Jika benar, lalu siapa yang berkewajiban
menafkahi isteri dan anaknya? Mohon jawabannya, Pak! Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D-……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Batasan Berbakti Kepada Orangtua |
Salam
kenal, Pak! Bapak dan keluarga apa khabar? Pak, saya termasuk anggota
Group Pecinta al-Qur’an dan Sunnah. Saya mau tanya sedikit, sebenarnya
definisi berbakti kepada orangtua itu sebatas apa? Maksudnya,
sejauhmana seorang anak harus berbakti kepada ibunya? Apakah semua
permintaan dan kehendak ibunya harus dituruti agar tidak menjadi anak
yang durhaka? Bukannya orangtua juga bisa salah, Pak? Apakah pada saat
itu kita boleh memberi saran atau masukan?
Di sini, saya ingin cerita sedikit tentang pengalaman peribadi teman
saya. Suami teman saya takut sekali menolak kemauan ibunya ataupun
menegur ibunya (bila sang ibu melakukan kesalahan), karena sang ibu seringkali melontarkan kata-kata “anak durhaka”. Terkadang untuk
hal-hal yang remeh saja, kata-kata seperti itu sering keluar dari
mulutnya. Kalau seperti itu bagaimana, Pak?
Bahkan untuk mendapatkan maaf dari sang ibu, suami teman saya itu
harus mencium kaki ibunya dulu. Padahal –menurut saya- masalahnya remeh/kecil
sekali. Awalnya, sang ibu pergi ke pasar bersama suami teman saya itu.
Di pasar, sang ibu menawar suatu barang dengan harga tertentu. Tapi
setelah penjual menyetujui harga yang ditawar sang ibu, sang ibu malah
menawar lagi dengan harga yang lebih murah. Melihat itu, suami teman
saya pun langsung menegur ibunya karena dia kuatir sang penjual akan
marah (dan nampaknya dia memang sudah marah). Maksud hati ingin
mengingatkan sang ibu, eh malah sang ibu marah-marah kepada anaknya.
Lalu dia melontarkan kata-kata “anak durhaka”.
Kisah di atas hanyalah salah satu contoh saja, Pak.
Mungkin masih banyak lagi kejadian-kejadian serupa yang sebenarnya
berawal dari masalah-masalah remeh. Bagaimana kita harus menyikapi ibu
seperti itu, Pak? Selain itu, sang ibu tidak mau “lepas” dari anaknya.
Dia terlalu manja kepada suami teman saya itu. Padahal untuk isteri
dan anaknya saja, suami saya itu jarang punya waktu karena pekerjaannya
sangat banyak, sampai-sampai jarang ada hari libur. Apa mungkin hal
itu disebabkan karena ibunya sudah janda, jadi dia ingin
bermanja-manjaan dengan anaknya? Kalau seperti itu, bagaimana caranya
agar suami teman saya itu bisa bersikap adil dalam mengurus ibu, anak
dan juga isterinya?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D-……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Salam kenal juga, Bu. Alhamdulillah saya dan keluarga dalam keadaan
sehat wal‘afiat. Si kecil yang beberapa hari lalu dirawat di rumah sakit
pun sekarang sudah kembali ceria dan menyenangkan seperti sediakala.
Mudah-mudahan ukhti dan keluarga juga demikian adanya, amin ya
Robbal-‘alamin.
Seperti yang pernah saya singgung dalam salah satu konsultasi sebelumnya, birrul waalidain
atau berbakti kepada orangtua merupakan amal kebajikan yang sangat
besar nilainya di mata Allah swt.. Karenanya, dalam beberapa ayat
Al-Qur`an, perintah untuk berbakti kepada orangtua disandingkan dengan
perintah untuk menyembah Allah, seperti pada firman-Nya: “Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia,
dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23)
Bila kita perhatikan, perintah untuk berbakti kepada orangtua dalam
ayat tersebut bersifat umum. Belum ada batasan-batasan tertentu. Tetapi
kemudian pengertian yang terkandung dalam ayat ini ditakhshish
(dipersempit) dengan firman Allah pada ayat lain: “Dan Kami
wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orangtuanya. Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak
ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS. Al-‘Ankabuut [28]: 8)
Dari
ayat kedua ini, dapat difahami bahwa tidak semua perintah orangtua
harus dituruti. Bila orangtua menyuruh kita untuk keluar dari agama
Islam atau untuk melakukan kemusyrikan, maka kita wajib menolaknya.
Inilah yang pernah dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash kepada ibunya.
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., bahwa dia berkata: “Aku
adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk
Islam, ibu berkata: ‘Agama apa yang kamu peluk itu, wahai Sa’ad? Kamu
harus meninggalkan agamamu itu, atau aku tidak akan makan dan minum
sampai aku mati, sehingga kamu akan dicemoh (oleh orang-orang) karena
kematianku, dan akan dikatakan kepadamu: ‘Wahai Sang Pembunuh ibunya.’
Aku menjawab: ‘Ibu, janganlah engkau melakukan itu, karena aku tidak
akan pernah meninggalkan agamaku ini karena alasan apapun.’ Setelah
melihat sang ibu mogok makan selama satu hari satu malam, Sa’ad berkata:
‘Wahai ibuku, demi Allah, ketahuilah bahwa seandainya engkau memiliki
seratus nyawa, kemudian nyawa-nyawa itu keluar dari dirimu satu
persatu, maka aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini.’” Melihat
kesungguhan Sa’ad, sang ibu pun akhirnya menghentikan aksi mogok
makannya itu.
Selain itu, pengertian firman Allah dalam QS. Al-Israa` (17): 23 juga ditakhshish
(dipersempit) oleh Hadits Nabi saw. yang berbunyi: “Tidak ada ketaatan
kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah.” Secara tegas,
Hadits ini menjelaskan bahwa seorang Muslim dilarang untuk menaati
perintah siapapun -termasuk orangtua- yang mengandung unsur kemaksiatan
kepada Allah, Sang Khaliq. Yang dimaksud dengan “maksiat”
(kemaksiatan) adalah perbuatan mendurhakai atau tidak mematuhi perintah
Allah (dan Rasul-Nya), atau melanggar aturan Allah. Dari sini, maka
para ulama pun mendefinisikan term “birrul waalidain”
(berbakti kepada orangtua) dengan definisi sebagai berikut: Berbakti
kepada kedua orangtua adalah berbuat baik kepada mereka, memenuhi
hak-hak mereka, dan menaati mereka dalam hal-hal yang bersifat sunah dan
mubah, bukan pada hal-hal yang sifatnya wajib atau haram. Artinya,
seorang anak harus menuruti perintah orangtuanya selama perintah itu
tidak untuk meninggalkan perbuatan yang wajib hukumnya ataupun melakukan
perbuatan yang diharamkan. Sebagai contoh, bila seorang ibu menyuruh
anaknya untuk melakukan satu pekerjaan tertentu, yang dengannya dia
harus meninggalkan shalat, maka sang anak wajib untuk menolak perintah
tersebut. Demikian pula bila sang ibu menyuruh anak laki-lakinya
meninggalkan begitu saja (menelantarkan) isteri dan anaknya agar dia
menikah dengan wanita pilihan ibunya, maka sang anak harus menolak
perintah tersebut, karena menelantarkan isteri dan anak merupakan
perbuatan yang dilarang Allah swt..
Tetapi
perlu diingat, andaikata seorang anak terpaksa harus menolak perintah
orangtuanya karena perintah tersebut bertentangan dengan aturan Allah
(yang bersifat wajib atau haram), maka penolakan itu harus disampaikan
dengan cara yang baik, dengan perkataan yang halus dan tidak bernada “membentak”, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt.: “dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Selain
itu, sang anak juga harus tetap memperlakukan orangtuanya dengan baik,
meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka. Allah swt.
berfirman: “…..dan janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31]: 15)
Saudariku
yang terhormat, pada kasus yang Anda sebutkan, saya melihat bahwa sang
anak belum wajib untuk menolak kemauan sang ibu. Sebab, masalah tawar
menawar dalam jual beli merupakan satu hal yang sifatnya mubah (tidak
terkait dengan hukum wajib ataupun haram seperti yang dijelaskan di
atas). Apalagi dalam kajian fikih muamalah, dikenal istilah khiyar
majlis, yaitu hak untuk meneruskan atau membatalkan akad (transaksi)
selama kedua belah pihak belum berpisah dari tempat transaksi. Bahkan
menurut Imam Syafi’I dan Hanbali, sang ibu masih boleh membatalkan
transaksi yang dilakukannya itu meskipun sudah dilakukan ijab qabul (serah terima uang dan barang), selama mereka belum berpisah.
Menurut
hemat saya, andaikata sang anak memang ingin memberikan masukan pada
saat itu karena hal seperti itu dianggap tidak baik menurut
adat/kebiasaan/etika (meskipun dibolehkan secara hukum), maka dia harus
ektra hati-hati dan harus melihat kondisi sang ibu. Jangan sampai niat
baiknya itu akan menyinggung perasaan sang ibu. Apalagi bila dia tahu
bahwa ibunya termasuk tipe orang yang sangat sensitif.
Kalau
saya boleh menilai, suami teman Anda itu termasuk orang yang sangat
berhati-hati dan khawatir bila dirinya tidak bisa meraih ridha orangtua.
Bahkan dia rela untuk mencium kaki sang ibu hanya untuk mendapatkan
maaf darinya. Mungkin dia ingin mengamalkan Hadits Nabi saw.: “Reda Allah terletak pada reda kedua orangtua, dan murka Allah terletak pada murka kedua orangtua.”
Tetapi
dia juga harus ingat, jangan sampai hal itu menyebabkan dia melalaikan
tugas dan kewajibannya sebagai suami dan ayah. Dia dituntut harus
benar-benar bersikap adil sehingga tidak ada yang dikorbankan, meskipun
dalam hal pelayanan, orangtua harus tetap didahulukan. Dalam sebuah
Hadits shahih disebutkan sebuah kisah tentang 3 orang yang masuk ke
dalam gua, tetapi kemudian pintu gua tersebut tertutup oleh batu. Batu
itu baru bisa digeser setelah setiap orang di antara mereka berdoa
kepada Allah dengan menyebutkan amal kebajikannya masing-masing. Salah
seorang di antara mereka adalah orang yang sangat berbakti kepada
orangtuanya. Dia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua
orangtua yang sudah lanjut usia, seorang isteri dan juga seorang anak.
Aku menggembala untuk (menghidupi) mereka. Setelah aku mengandangkan
ternak, aku memerah susunya. Lalu aku mulai memberikan susu itu kepada
kedua orangtuaku sebelum aku memberikannya kepada anakku.” (HR. Muslim)
Dari penjelasan di atas, saya berani mengatakan bahwa bila suami teman
Anda itu bisa bersikap seperti itu dengan tidak melalaikan
kewajibannya sebagai suami dan ayah, maka teman Anda itu sangat
beruntung. Dia seharusnya rela dan mendukung sikap suaminya itu. Sebab,
bisa jadi saat tua nanti, dia dan juga suaminya itu akan diperlakukan
seperti itu oleh anak dan menantunya.
Mengenai
pertanyaan terakhir, saya tegaskan bahwa tidak ada satu ayat atau
Hadits pun yang menyatakan bahwa semua harta anak laki-laki adalah hak
ibunya. Memang ada satu riwayat yang mengisyaratkan bahwa seorang ayah
boleh membelanjakan harta anaknya, tetapi itu merupakan kekhususan yang
diberikan Allah kepada ayah, dan hal itu hanya boleh dilakukan secara
tidak berlebihan dan tidak memudharatkan anaknya.Tapi dari segi hukum,
harta itu tetap milik anaknya, bukan milik ayahnya. Oleh karenanya,
ketika sang anak meninggal, maka harta itu harus dibagikan kepada semua
ahli waris, termasuk ayah dan ibu. Bila anak laki-laki itu memiliki
anak atau saudara, maka ibu hanya mendapat seperenam. Tetapi bila dia
tidak mempunyai siapa-siapa kecuali ayah ibunya (yang masih hidup),
maka sang ibu mendapat sepertiga bagian dari harta yang ditinggalkan (Lihat QS. An-Nisaa` [4]: 11)
Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Ass....saya punya masalah rmah tangga..saya bercerai akibat mertua saya..memihak pada istri saya..
BalasPadamPertanyaanya. Berdosa kah apa bila saya menjauhi mertua saya demi menyelamatkan rumah tangga kami kembali....mohon penjelasanya...